Pura Gunung Kawi
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhqzi1jKLdXuxerfQ9EvbZbiFo90VwC-BVl359TMf-J21InfQwT0RA2Xn9PCbHAH-wW6ZUgU9h9cCPtQUSyCc79dPYYaUV2urcIm-PYdlE1TVHcux-u0qTVnDPL1o3CbCLzxFS0AEyPhec/s320/gunungkawi.jpg)
Hanya beberapa kilometer dari kawasan wisata Istana Negara Tampak Siring dan Pura Tirta Empul, kita akan melanjutkan jalan-jalan sekaligus photo-photo di objek wisata penuh nilai historis dan spiritual, Pura Gunung Kawi.
Objek wisata ini dapat ditempuh dalam 50 menit dari Kuta atau 30 menit dari Denpasar.
Dari artikulasi dapat diuraikan menjadi 2 (dua), yaitu gunung yang berarti tempat yang tinggi, bukit atau tebing dan Kawi berarti kekawin atau sesuatu yang dibuat .
Jadi pura Gunung Kawi adalah pura yang dibangun di tebing di sebelah barat sebuah pegunungan dimana pegunungan itu sekarang dikenal dengan nama desa Sebatu.
Sebatu berasal dari urat kata sauh berati terpeleset dan batu berarti batu atau bebatuan. Konon pada jaman pemerintahan raja Mayadenawa yang sangat bengis dan tidak percaya adanya Tuhan, daerah ini merupakan lintasan pelarian Raja Mayadenawa dengan para pengikutnya menuju desa Taro, setelah terdesak dalam peperangan melawan para dewata yang mengejarnya, begitu pula ketakutan para penduduk asli kepada pengikut raja Mayadenawa, sehingga semuanya lari tunggang langgang dan terpeleset diantara bebatuan pegunungan (Sauh di batu). Sadar akan penduduk asli yang tidak berdosa dalam bahaya, maka dewa Wisnu memberikan sumber kehidupan bagi penduduk yang tidak berdosa dalam wujud air suci.
Sebagai ucapan rasa syukur penduduk, maka ditempat ini dibangun pura tempat pemujaan dewa Wisnu yang dikenal dengan nama Pura Gunung Kawi yang dilengkapi dengan pancuran-pancuran beraneka ragam fungsi seperti untuk air suci, mandi dan lain-lain.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhqzi1jKLdXuxerfQ9EvbZbiFo90VwC-BVl359TMf-J21InfQwT0RA2Xn9PCbHAH-wW6ZUgU9h9cCPtQUSyCc79dPYYaUV2urcIm-PYdlE1TVHcux-u0qTVnDPL1o3CbCLzxFS0AEyPhec/s320/gunungkawi.jpg)
Hanya beberapa kilometer dari kawasan wisata Istana Negara Tampak Siring dan Pura Tirta Empul, kita akan melanjutkan jalan-jalan sekaligus photo-photo di objek wisata penuh nilai historis dan spiritual, Pura Gunung Kawi.
Objek wisata ini dapat ditempuh dalam 50 menit dari Kuta atau 30 menit dari Denpasar.
Dari artikulasi dapat diuraikan menjadi 2 (dua), yaitu gunung yang berarti tempat yang tinggi, bukit atau tebing dan Kawi berarti kekawin atau sesuatu yang dibuat .
Jadi pura Gunung Kawi adalah pura yang dibangun di tebing di sebelah barat sebuah pegunungan dimana pegunungan itu sekarang dikenal dengan nama desa Sebatu.
Sebatu berasal dari urat kata sauh berati terpeleset dan batu berarti batu atau bebatuan. Konon pada jaman pemerintahan raja Mayadenawa yang sangat bengis dan tidak percaya adanya Tuhan, daerah ini merupakan lintasan pelarian Raja Mayadenawa dengan para pengikutnya menuju desa Taro, setelah terdesak dalam peperangan melawan para dewata yang mengejarnya, begitu pula ketakutan para penduduk asli kepada pengikut raja Mayadenawa, sehingga semuanya lari tunggang langgang dan terpeleset diantara bebatuan pegunungan (Sauh di batu). Sadar akan penduduk asli yang tidak berdosa dalam bahaya, maka dewa Wisnu memberikan sumber kehidupan bagi penduduk yang tidak berdosa dalam wujud air suci.
Sebagai ucapan rasa syukur penduduk, maka ditempat ini dibangun pura tempat pemujaan dewa Wisnu yang dikenal dengan nama Pura Gunung Kawi yang dilengkapi dengan pancuran-pancuran beraneka ragam fungsi seperti untuk air suci, mandi dan lain-lain.
Pura Tirta Empul
Bali telah dikenal sebagai pulau seribu pura. Ada pura Besakih yang merupakan pura terbesar di Bali, Pura Uluwatu di kawasan Uluwatu dan masih banyak lagi. Di antaranya adalah pura yang satu ini. Dalam perjalanan menuju Kintamani, kita akan menyinggahi Istana Negara Tampaksiring terlebih dulu. Nah, tepat di bawah kawasan istana negara Tampak Siring inilah pura Tirta Empul berada.
Tirta Empul bermakna air suci yang menyembur dari dalam tanah.
Cerita awalnya bersumber dari sebuah prasasti Batu yang masih tersimpan di Desa Manukaya menyebutkan pura ini dibangun oleh Sang Ratu Sri Candra Bhayasingha Warmadewa di daerah Manukaya. Prasasti ini memuat angka tahun 882 caka (960 masehi). Di sini terdapat sebuah mata air yang sangat besar, yang hingga sekarang dikeramatkan oleh penduduk setempat. Kekunaan yang terdapat disini ialah sebuah lingga-yoni dan arca lembu.
Layaknya pura-pura lain di Bali, pura ini memiliki 3 bagian yang merupakan jaba pura (halaman muka), jaba tengah (halaman tengah), dan jeroan (bagian dalam). Pada Jabe Tengah terdapat dua buah kolam persegi empat panjang, dan kolam tersebut mempunyai 30 buah pancuran yang berderet dari timur ke barat menghadap ke selatan. Masing-masing pancuran itu menurut tradisi mempunyai nama tersendiri, diantaranya pancuran pengelukatan, pebersihan sidamala, dan pancuran cetik (racun).
Pancuran cetik (racun) dan nama Tirta Empul ada hubungannya dengan mitologi, yaitu peleburan Mayadenawa raja Batu Anyar (Bedulu) dengan bhatara Indra. Dalam metologi itu diceritakan bahwa raja Mayadenawa bersikap sewenang-wenang dan tidak mengizinkan rakyat untuk melaksanakan upacara-upacara keagamaan untuk memohon keselamatan dari Tuhan Yang Maha Esa. Setelah perbuatan itu diketahui oleh para dewa, maka para dewa yang dipimpin oleh dewa Indra menyerang Mayadenawa.
Akhirnya Mayadenawa dapat dikalahkan dan melarikan diri dan sampailah di sebelah utara desa Tampak Siring. Dengan kesaktiannya, Mayadenawa menciptakan mata air cetik yang mengakibatkan banyak para laskar bhatara Indra yang gugur akibat minum air tersebut.Melihat hal ini maka bhatara Indra segera menancapkan tombak dan memancarkan air dari dalam tanah. Tirta Empul dan mata air ini dipakai untuk memerciki para pasukan dewa sehingga tidak beberapa lama hidup lagi seperti sedia kala.
Metologi ini mungkin ada pengaruhnya dengan raja Majapahit ke Bali. Ekspedisi Patih Gajah Mada dari kerajaan Majapahit yang datang ke Bali pada tahun 1314 digambarkan sebagai bhatara Indra dan bhatara Sri Astasura Bhumi Banten yang memerintah dan berkedudukan di Bedulu digambarkan sebagai raja Mayadenawa. Menurut cerita rakyat setempat, metologi Mayadenawa juga dihubungkan dengan hari raya Galungan yang jatuh pada hari Rabu Kliwon Dungulan. Galungan adalah lambang perjuangan antara Dharma melawan Adharma, kebenaran melawan kejahatan. Bertepatan dengan hari raya Galungan semua seni tari Barong sakral dari desa-desa yang ada di wilayah kabupaten Gianyar dimandikan dengan air suci Tirta Empul. Barong adalah lambang dari kebaikan.
Ceritanya menarik bukan? Tentu akan lebih menarik lagi kalau anda segera berkunjung ke tempat wisata ini sambil mengunjungi Istana Negara Tampak Siring.
Tirta Empul bermakna air suci yang menyembur dari dalam tanah.
Cerita awalnya bersumber dari sebuah prasasti Batu yang masih tersimpan di Desa Manukaya menyebutkan pura ini dibangun oleh Sang Ratu Sri Candra Bhayasingha Warmadewa di daerah Manukaya. Prasasti ini memuat angka tahun 882 caka (960 masehi). Di sini terdapat sebuah mata air yang sangat besar, yang hingga sekarang dikeramatkan oleh penduduk setempat. Kekunaan yang terdapat disini ialah sebuah lingga-yoni dan arca lembu.
Layaknya pura-pura lain di Bali, pura ini memiliki 3 bagian yang merupakan jaba pura (halaman muka), jaba tengah (halaman tengah), dan jeroan (bagian dalam). Pada Jabe Tengah terdapat dua buah kolam persegi empat panjang, dan kolam tersebut mempunyai 30 buah pancuran yang berderet dari timur ke barat menghadap ke selatan. Masing-masing pancuran itu menurut tradisi mempunyai nama tersendiri, diantaranya pancuran pengelukatan, pebersihan sidamala, dan pancuran cetik (racun).
Pancuran cetik (racun) dan nama Tirta Empul ada hubungannya dengan mitologi, yaitu peleburan Mayadenawa raja Batu Anyar (Bedulu) dengan bhatara Indra. Dalam metologi itu diceritakan bahwa raja Mayadenawa bersikap sewenang-wenang dan tidak mengizinkan rakyat untuk melaksanakan upacara-upacara keagamaan untuk memohon keselamatan dari Tuhan Yang Maha Esa. Setelah perbuatan itu diketahui oleh para dewa, maka para dewa yang dipimpin oleh dewa Indra menyerang Mayadenawa.
Akhirnya Mayadenawa dapat dikalahkan dan melarikan diri dan sampailah di sebelah utara desa Tampak Siring. Dengan kesaktiannya, Mayadenawa menciptakan mata air cetik yang mengakibatkan banyak para laskar bhatara Indra yang gugur akibat minum air tersebut.Melihat hal ini maka bhatara Indra segera menancapkan tombak dan memancarkan air dari dalam tanah. Tirta Empul dan mata air ini dipakai untuk memerciki para pasukan dewa sehingga tidak beberapa lama hidup lagi seperti sedia kala.
Metologi ini mungkin ada pengaruhnya dengan raja Majapahit ke Bali. Ekspedisi Patih Gajah Mada dari kerajaan Majapahit yang datang ke Bali pada tahun 1314 digambarkan sebagai bhatara Indra dan bhatara Sri Astasura Bhumi Banten yang memerintah dan berkedudukan di Bedulu digambarkan sebagai raja Mayadenawa. Menurut cerita rakyat setempat, metologi Mayadenawa juga dihubungkan dengan hari raya Galungan yang jatuh pada hari Rabu Kliwon Dungulan. Galungan adalah lambang perjuangan antara Dharma melawan Adharma, kebenaran melawan kejahatan. Bertepatan dengan hari raya Galungan semua seni tari Barong sakral dari desa-desa yang ada di wilayah kabupaten Gianyar dimandikan dengan air suci Tirta Empul. Barong adalah lambang dari kebaikan.
Ceritanya menarik bukan? Tentu akan lebih menarik lagi kalau anda segera berkunjung ke tempat wisata ini sambil mengunjungi Istana Negara Tampak Siring.
Pura Kerta Kawat
Salah Satu Pura Unik di Bali Utara
Pura kerta kawat terletak di dusun banyu poh, kecamatan Gerokgak, kabupeten Buleleng, provinsi Bali. Jaraknya sekitar 50 kilometer dari kota Singaraja dan sekitar 30 kilometer dari pelabuhan gilimanuk. Jika berangkat dari Bandara Ngurah Rai, maka dibutuhkan waktu sekitar 3,5 jam perjalanan menuju lokasi ini. Namun, anda tak perlu khawatir dengan rasa bosan selama perjalanan karena mata anda akan dimanjakan dengan suasana hijau hutan bedugul lengkap dengan tingkah lucu kera-keranya, serta perkebunan dan persawahan warga kecamatan Seririt dan Banjar.
Lokasi tempat sembahyang agama hindu yang eksotis ini memang agak jauh dari jalan raya. Ketika petunjuk jalan menuju Pura Kerta Kawat telah anda temukan di simpang tiga jalan raya, maka anda hanya perlu masuk sekitar 600 meter ke arah selatan. Jadi, konsentrasi anda untuk beribadah ataupun hanya sekedar mengagumi keindahannya tak akan terganggu denga suara bising dari kendaraan-kendaraan yang melintas.
Meskipun terletak di kabupaten Buleleng, namun terlihat beberapa hal yang membuatnya menjadi sebuah pura unik di Bali Utara. Pertama, Ketika anda tiba di depan Pura Kerta Kawat, anda akan melihat sebuah candi bentar megah lengkap dengan ukiran khas Bali pada permukaannya. Hal yang membuatnya terlihat lebih istimewa, adalah latar belakang berupa suasana perbukitan terjal yang begitu menawan.
Keunikan kedua dapat anda lihat dari bentuk pelinggih-pelinggih yang ada di dalamnya. Meskipun berada di Bali Utara, bentuk pelinggih di pura ini hampir sama dengan pelinggih-pelinggih yang tereletak di Bali Selatan.
Keunikan ketiga dapat anda lihat dari tata letak yang tidak seperti pura lain di Bali. Jika biasanya pura dibagi berdasarkan tiga bagian, tidak demikian dengan Pura kerta Kawat yang tidak memiliki wilayah jaba tengah. Sehingga begitu anda masuk, anda sudah tiba di halaman paling dalam atau yang dikenal dengan istilah jeroan.
Keunikan lainnya adalah fungsinya yang digunakan untuk memuja Betara I Dewa Mentang Yuda atau Betara Ngertanin Jagat sebagai dewa yang mengatur dan melimpahkan kesejahteraan kepada dunia. Kini, dewa tersebut lebih dikenal dengan nama Ida Betara Hakim Agung. Kepercayaan itulah yang menyebabkan banyak orang datang ke sini.
Biasanya orang yang bersembahyang disini merupakan pejabat, orang yang hendak meraih jabatan, ataupun orang yang telah menunaikan tugasnya setelah menjabat di pemerintahan. Karena mereka percaya bahwa selain mengandalkan kemampuan diri sendiri, memohon berkah, petunjuk, dan bimbingan dari-Nya akan memantapkan langkah mereka dalam mencapai tujuan karir.
Peraturan untuk memasuki pura kerta kawat sama dengan peraturan untuk memasuki pura lain, yaitu berpakaian sopan, menggunakan kain dan selendang, serta bagi perempuan yang sedang datang bulan tidak diperbolehkan untuk masuk.
Mengagumi Ukiran Khas Bali Utara di Pura Beji
Pulau Bali adalah suatu pulau dengan penduduk yang mayoritas beragama Hindu. Pemujaan terhadap dewa yang dilakukan masyarakat Bali telah dilakukan sejak ratusan tahun silam. Setiap pura yang dibangun memiliki suatu ciri khas tersendiri, yang membuatnya nampak istimewa. Salah satu bentuk ciri khas tersebut adalah ukirannya. Di daerah Bali Utara, anda dapat mengagumi ukiran khas Bali Utara di Pura Beji.
Pura Beji merupakan pura subak yang dibangun sekitar abad 15 pada zaman kerajaan majapahit.
Tujuan pembangunannya tak lain adalah untuk memuka Dewi Sri, yang dipercaya masyarakat Bali sebagai dewi kesuburan lahan dan dapat menganugerahkan hasil panen yang baik.
Pura beji terletak di desa Sangsit, kecamatan Sawan, kabupaten Buleleng. Jaraknya sekitar 9 Km dari pusat kota Singaraja. Jika berangkat dari Singaraja, anda harus menuju ke arah timur dari objek wisata pelabuhan Buleleng, sampai anda tiba di simpang 4 pasar tradisional desa Sangsit. Kemudian, petunujuk jalan yang menuju arah perkampungan bahari pinggir pantai di bagian utara, akan membantu anda untuk menemukannya. Jika berangkat dari bandara ngurah rai, kira-kira dibutuhkan waktu sekitar 150 menit untuk mencapai objek ini.
Pura Beji dapat diacapai dengan menggunakan kendaraan roda dua ataupun kendaraan roda empat. Fasilitas parkir yang disediakan adalah berupa lapangan luas, yang cukup untuk parkir beberapa unit mobil ataupun motor.
Peraturan yang diberlakukan untuk dapat masuk, secara umum sama seperti peraturan memasuki pura di Bali, yaitu harus menggunakan pakaian sopan dan jika terdapat perempuan yang datang bulan tidak diperbolehkan masuk areal pura. Jika anda tidak membawa kain (kamen) dan selendang, maka di depan pintu masuk telah disediakan penyewaan kamen. Tarif yang dipatok untuk selembar kamen tidak pasti. Karena wisatawan dipersilahkan membayar sukarela sebagai bentuk donasi untuk membangun fasilitas wisata yang lebih baik.
Pura beji dibangun dari batu pasir tua berawarna merah muda. Salah satu daya tarik utamanya adalah ukiran khas Bali Utara, berupa tumbuhan-tumbuhan menjalar yang dilengkapi dengan bunga mekar. Ukiran tersebut memenuhi hampir seluruh bagian pura, sehingga memberikan kesan seakan tak ada bagian yang tak dihiasi oleh ukiran tersebut. Tak hanya ukiran, dinding-dindingnya pun didekorasi juga dengan berbagai patung bhuta kala, naga, serta beberapa relief yang berkaitan dengan kehidupan agraris masyarakat. Keunikan lain yang dapat anda temukan adalah keberadaan dua patung musisi belanda yang terletak di pintu keluar.
Walaupun tak terlalu dikenal wisatawan, biasanya pemandu wisata yang mengajak tamunya tour melewati daerah Bali Utara, akan menyempatkan waktu untuk mengajak tamunya mengagumi ukiran khas Buleleng di Pura Beji. Karena, gaya ukiran khas tersebut dipercaya hanya dapat ditemukan di Bali utara, dan salah satu pura di bali yang menyajikan keindahan ukiran tersebut adalah pura beji.
Pada bagian dalam anda dapat melihat sebuah halaman luas yang dilapisi rerumputan hijau dan juga pohon kamboja tua yang masih aktif berbunga hingga kini.
Waktu mungkin dapat berjalan tanpa terasa. Tapi, hal itu tak akan membuat budaya dan kepercayaan masyarakat Bali luntur begitu saja. Hal itulah yang membuat Bali dikagumi oleh dunia. Jika anda berwisata ataupun hanya sekedar melintasi daerah Bali Utara, sempatkanlah mata anda mengagumi ukiran khas Bali Utara di Pura Beji.
Mengembangkan Spiritualitas Melalui Meditasi di Brahma Vihara Arama
Brahma Vihara Arama terletak di Banjar Tegeha, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali. Jaraknya sekitar 19 Kilometer di sebelah barat kota Singaraja, berdekatan dengan objek wisata pemandian Air Panas Banjar. Jika berangkat dari Bandara Ngurah Rai, dibutuhkan waktu sekitar 150 menit untuk mencapai wihara terbesar di Bali ini.
Anda tidak perlu takut merasa bosan di perjalanan, karena selama perjalanan dari pusat kota Singaraja, mata Anda akan dimanjakan oleh hamparan hijau pematang sawah dan juga perkebunan anggur warga setempat.
Brahma Vihara Arama terletak di kawasan perbukitan. Jadi, ketika anda menghadap ke utara, maka anda akan melihat indahnya pemandangan laut Bali Utara serta areal perkebunan dan persawahan dari ketinggian.
Ketika memasuki Brahma Vihara Arama, rasanya seperti memasuki sebuah pura. Karena wihara ini dibangun dengan arsitektur Bali tanpa menghilangkan kesan bahwa bangunan ini adalah sebuah tempat ibadah agama Buddha. Setiap halaman yang ada dihubungkan dengan beberapa anak tangga yang masing-masing berisi prinsip-prinsip ajaran Buddha.
Di dalam bangunan wihara pertama, anda akan menemukan beberapa patung Buddha beserta patung-patung lain yang masih terkait dengan ajaran Buddha. Misalnya patung Dewi Kwan Im yang terbuat dari keramik di dengan tinggi sekitar 30 cm.
Tahukah anda, bahwa patung ini sempat membuat masyarakat sekitar terkejut? Hal ini dikarenakan pada penghujung tahun 2008, patung ini dikabarkan menangis. Menurut cerita biksu setempat, patung tersebut merupakan pemberian dari seorang wanita misterius yang datang di malam hari. Perempuan tersebut meminta biksu untuk meletakan patung tersebut di atas altar.
Teteasan air suci tersebut mengalir pertama kali 8 Desember 2008, kemudian berhenti selama seminggu, dan tanggal 17 Desembar 2008 air kembali menetes dengan volume yang lebih banyak.
Untuk melihat bagian wihara yang lain, anda harus menaiki beberapa anak tangga lagi. di setiap sudut wihara, anda dapat menikmati keindahan taman berselimut hijaunya rerumputan dan juga beberapa patung yang menggambarkan perjalanan hidup sang Buddha. Tentunya, suasana tersebut akan membantu anda untuk berkonsentrasi saat meditasi.
Kesunyian dan ketenangan suasananya membuat beberapa orang yang ingin menenangkan pikiran dapat belajar meditasi di sini. Beberapa pengajar akan siap melatih anda sesuai jadwalnya masing-masing. Salah satu pengajar tersebut merupakan motivator dan penulis buku, Gede Prama.
Pada bangunan wihara kedua, anda dapat melihat sebuah patung Buddha berwarna emas duduk di sebuah altar. Di permukaan dinding bangunan tersebut anda dapat melihat relief-relief yang menceritakan perjalanan hidup Buddha dan ajaran-ajarannya.
Kemudian pada puncak wihara, Anda dapat melihat sebuah lapangan luas, yang di ujungnya terdapat sebuah bangunan stupa mirip candi Borobudur. Biasanya, pada perayaan hari besar agama Buddha ratusan orang akan memenuhi lapangan tersebut untuk melakukan persebahyangan.
Di bagian dalam stupa tersebut anda akan melihat sebuah ruangan yang berisi 4 patung Buddha berwarna emas menghadap ke 4 penjuru mata angin. Ruangan ini akan digunakan sebagai tempat latihan meditasi. Jadi, secara keseluruhan, bangunan seluas + 4 hektar ini memenuhi syarat sebagai salah satu pusat belajar meditasi di Indonesia yang kondusif.
0 komentar:
Posting Komentar